Perdarahan Post Partum
1.
Pengertian
a. Definisi perdarahan adalah kehilangan darah secara
abnormal. Rata-rata kehilangan darah selama kelahiran pervaginam yang ditolong
dokter obstetrik tanpa komplikasi lebih dari 500 ml, tapi belum dipelajari dan
diuji, kehilangan darah rata-rata selama secsio sesaria sekitar 1000 ml
(Varney, 2008).
b. Perdarahan post partum adalah perdarahan lebih dari 500-600 ml
selama 24 jam setelah anak lahir termasuk perdarahan karena retensio plasenta.
Perdarahan post partum adalah perdarahan dalam kala IV lebih dari 500-600 cc
dalam 24 jam setelah anak dan plasenta lahir (Mochtar, 2005).
c. Perdarahan postpartum adalah perdarahan setelah bayi lahir,
sedangkan tentang jumlah perdarahan, di sebutkan sebagai perdarahan yang lebih
dari normal dimana telah menyebabkan perubahan tanda vital (pasien mengeluh
lemah, limbung, berkeringat dingin, menggigil, hiperpnea, tekanan darah
sistolik 90/100 x/menit, kadar Hb 8 (Prawiroharjo, 2002)
2.
Klasifikasi
Menurut Wiknjosastro, 2005
perdarahan post partum diklasifikasikan menjadi 2, yaitu :
a. Perdarahan post partum primer : sejak kelahiran sampai
24 jam pasca partum.
b. Perdarahan post partum sekunder : 24 jam sampai 6 minggu pasca
partum
3.
Epidemiologi
Perdarahan post partum dini
jarang disebabkan oleh retensi potongan plasenta yang kecil, tetapi plasenta
yang tersisa sering menyebabkan perdarahan pada akhir masa nifas. Kadang-kadang
plasenta tidak segera terlepas. Bidang obstetri membuat batas-batas durasi kala
tiga secara agak ketat sebagai upaya untuk mendefenisikan retensio plasenta
shingga perdarahan akibat terlalu lambatnya pemisahan plasenta dapat dikurangi.
Combs dan Laros meneliti 12.275 persalinan pervaginam tunggal dan melaporkan
median durasi kala III adalah 6 menit dan 3,3% berlangsung lebih dari 30 menit.
Beberapa tindakan untuk mengatasi perdarahan, termasuk kuretase atau transfusi,
menigkat pada kala tiga yang mendekati 30 menit atau lebih (Anggraeni, 2007).
Efek perdarahan banyak bergantung
pada volume darah pada sebelum hamil dan derajat anemia saat kelahiran. Gambaran
perdarahan post partum yang dapat mengecohkan adalah nadi dan tekanan darah
yang masih dalam batas normal sampai terjadi kehilangan darah yang sangat
banyak (Anggraeni, 2007).
4.
Etiologi
a. Penyebab umum terjadinya perdarahan post partum
menurut Mochtar (2005), adalah :
1) Keadaan umum ibu yang lemah karena Anemia
Ibu yang mengalami anemia akan
mengalami kekurangan O2 yang mengakibatkan sirkulasi darah yang mengalir di
tubuh menjadi berkurang, lalu menyebabkan tenaga ibu berkurang dan selanjutnya
kontraksi uterus pun juga mengalami kelemahan. Keadaan inilah yang menyebabkan
terjadinya perdarahan.
2) Multiparitas
Ibu yang sudah bekali-kali
melahirkan anak. Keadaan uterusnya akan mengalami perubahan dalam hal
keelastisitasan. Semakin elastic dan besar ukuran uterus tersebut maka
kontraksi tersebut akan semakin lambat sehingga perdarahan pun terjadi.
3) Pasca tindakan oprasi
Seorang ibu yang telah mengalami
oprasi di bagian alat kandungan akan menjadi lebih rawan mengalami perdarahan.
Hal ini dikarenakan kemungkinan terbukanya kembali luka bekas oprasi sehingga
perdarahan akan terjadi dari luka tersebut.
4) Distensi uterus berlebih
Keadaan distensi uterus ini dapat
terjadi pada kehamilan kembar, kehamilan dengan hidramnion, dan janin yang
besar. Sama halnya dengan multiparitas, ukuran uterus pada kehamilan ini akan
lebih besar dan bisa menyebabkan lemahnya kontraksi.
5) Kelelahan ibu
Kelelahan ibu ini dapat terjadi
pada persalinan prolong labour atau partus lama yaitu partus >12 jam atau
kala I fase laten >8 jam atau pada patograf melebihi garis waspada. Negleted
labour atau partus terlantar. Partus terlantar ini adalah kelanjutan dari
partus lama dimana ibu yang sudah mengalami partus lama dan tidak mendapatkan
penanganan lebih lanjut, sehingga terjadilah partus terlantar
6) Trauma persalinan
Yaitu terjadinya robekan pada
vagina dan perineum, servik, fornik, uterus.
7) Gangguan kontraksi
Terjadinya covalaire uteri atau
timbulnya bercak-bercak pada uterus. Keadaan ini biasa terjadi pada kasus
solusio plasenta.
b. Penyebab primer
1) Atonia Uteri
Perdarahan post partum dapat
terjadi karena terlepasnya sebagian plasenta dari rahim dan sebagian lagi
belum, karena perlukaan pada jalan lahir atau karena atonia uteri. Atonia uteri
merupakan sebab terpenting perdarahan post partum. Atonia uteri dapat terjadi
karena proses persalinan yang lama, perdarahan rahim yang berlebihan pada waktu
hamil seperti pada hamil kembar atau janin besar, persalinan yang sering
dijumpai (multiparitas) atau anestesi yang dalam. Atonia uteri, rahim membesar
dan lembek.
Perdarahan yang disebabkan atonia
uteri dilakukan masase perdarahan dan suntikan ergometin ke dalam pembuluh
balik. Bila tidak memberikan hasil yang diharapkan dalam waktu singkat,
dilakukan kompresi bimanual pada rahim, bila perlu dilakukan temponade uterus
vaginal. Yaitu dimasukan tampon ke dalam rahim sampai rongga rahim terisi penuh
(Wiknjosastro, 2005)
Faktor-faktor yang mempengaruhi
terjadinya perdarahan akibat atonia uteri adalah :
a) Faktor predisposisi
(1) Multiparitas uterus yang telah melahirkan banyak anak cenderung
bekerja tidak efisien dalam semua kala persalinan. Paritas tinggi merupakan
salah satu faktor resiko terjadinya perdarahan postpartum (Pritchard, 1999).
Hal ini disebabkan pada ibu dengan paritas tinggi yang mengalami persalinan
cenderung terjadi atonia uteri. Atonia uteri pada ibu dengan paritas tinggi
terjadi karena kondisi miometriunm dan tonus ototnya sudah tidak baik lagi
sehingga menimbulkan kegagalan kompresi pembuluhdarah pada tempat implantasi
plaseta yang akibatnya terjadi perdarahan postpartum.
(2) Peregangan uterus yang berlebihan (over distensi) Uterus yang
mengalami peregangan secara berlebihan akibat keadaan-keadaan seperti bayi
besar, kehamilan kembar dan polihidramnion cenderung mempunyai daya kontraksi
yang jelek (Depkes RI, 2001).
(3) Kerja uterus tidak efektif pada kala I dan kala II, kemungkinan
besar akan diikuti oleh kontraksi serta retraksi miometrium yang jelek dalam
kala III.
(4) Kelelahan akibat partus lama Bukan hanya rahim yang lelah
cenderung berkontraksi lemah setelah melahirkan tetapi juga ibu yang kelelahan
kurang mampu bertahan terhadap kehilangan darah
(5) Pimpinan persalinan yang salah dalam kala uri
Kesalahan yang paling sering adalah mencoba mempercepat
kala III. Dorongan dan pemijatan uterus mengganggu mekanisme fisiologis
pelepasan plasenta dan dapat menyebabkan pemisahan sebagian plasenta yang
mengakibatkan perdarahan.
(6) Perlekatan plasenta terlalu erat Seperti pada plasenta akreta
partialis dimana kontraksi uterus terganggu, gangguan terhadap kemampuan uterus
berkontraksi juga bisa disebabkan oleh sisa plasenta atau selaput ketuban dan
kandung kemih yang penuh.
(7) Anestesi Anestesi inhalasi yang dalam dan lama dengan
menggunakan bahan seperti halothan atau ether merupakan faktor yang sering
menjadi penyebab. Terjadi relaksasi miometrium yang berlebihan, kegagalan
kontraksi serta retraksi, atonia uteri dan perdarahan post partum.
b) Faktor medis (Depkes, 2001).
(1) Anemia
(2) Penyakit-penyakit lain, misalnya kencing manis, hepatitis, dan
hemoglobinopati.
c) Faktor obstetrik lainnya (Depkes, 2001).
(1) Riwayat perdarahan post partum
(2) Eklampsi, induksi persalinan, partus presipitatus, bedah sesar,
korioamnionitis atau endometritis, DIC (Dissemined Intra Vascular Coagulation /
pembekuan darah intra vaskuler merata).
2) Retensio Plasenta
Retensio plasenta adalah plasenta
yang belum lahir setengah jam sesudah bayi lahir (Wiknjosastro, 2002).
Penyebab terjadinya retensio plasenta yaitu :
a) Fungsionil
(1) His kurang kuat
(2) Plasenta sukar terlepas karena mempunyai inersi di sudut tuba,
berbentuk plasenta membranasea atau plasenta anularis, berukuran sangat kecil
dan plasenta yang sukar lepas karena sebab-sebab tersebut diatas disebut
plasenta adesiva (Wiknjosastro, 2002).
b) Patologi anatomis (Mochtar, 2005)
(1) Plasenta inkreta, dimana vili korealis tumbuh lebih dalam dan
menembus desidua sampai ke miometrium
(2) Plasenta akreta, yang menembus lebih dalam ke dalam miometrium
tetapi belum menembus serosa.
(3) Plasenta perkreta, yang menembus sampai serosa atau peritoneum
dinding rahim.
c) Faktor uterus (Wiknjosastro, 2002).
(1) Kelainan bentuk uterus (bicornus, berseptum)
(2) Mioma uterus
(3) Riwayat tindakan pada uterus yaitu tindakan bedah sesar, operasi
uterus yang mencapai kavum uteri, abortus dan dilakukan kuretase yang bisa
menyebabkan implantasi plasenta abnormal. Retensio sebagian atau seluruh
plasenta dalam rahim akan mengganggu kontraksi dan retraksi, menyebabkan
sinus-sinus tetap terbuka, dan menimbulkan perdarahan post partum. Begitu
bagian plasenta terlepas dari dinding uterus, perdarahan terjadi dari daerah
tersebut. Bagian plasenta yang masih melekat melintangi retraksi miometrium dan
perdarahan berlangsung terus sampai sisa organ tersebut terlepas serta
dikeluarkan (Wiknjosastro, 2002). Pada retensio plasenta baik seluruh atau
sebagian lobus suksenturiata, sebuah kotiledon atau suatu fragmen plasenta yang
tertinggal pada dinding uterus dapat menyebabkan perdarahan post partum. Tidak
ada hubungan antara banyaknya bagian plasenta yang masih melekat dengan beratny
perdarahan. Hal yang perlu diperhatikan adalah derajat atau dalamnya perlekatan
plasenta tersebut.
d) Faktor-faktor predisposisi terjadinya retensio
plasenta
(1) Paritas Ibu Pada multipara akan terjadi kemunduran dan cacat
pada endometrium yang mengakibatkan terjadinya fibrosis pada bekas implantasi
plasenta pada persalinan sebelumnya, sehingga vaskularisasi menjadi berkurang.
Untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan janin, plasenta akan mengadakan perluasan
implantasi dan vili khorialis akan menembus dinding uterus lebih dalam lagi
sehingga akan terjadi plasenta adhesiva sampai perkreta. Angka kejadian
tertinggi retensio plasenta pada multipara dan pada paritas 4-5.
(2) Umur Makin tua umur ibu maka akan terjadi kemunduran yang
progresif dari endometrium sehingga untuk mencukupi kebutuhan nutrisi janin
diperlukan pertumbuhan plasenta yang lebih luas (Nikilah, 2008).
3) Laserasi jalan lahir atau trauma jalan lahir
Perdarahan yang cukup banyak
dapat terjadi dan robekan yang dialami selama proses melahirkan baik yang
normal ataupun dengan tindakan. Jalan lahir harus diinspeksi sesudah tiap
kelahiran selesai sehingga sumber perdarahan bisa dikendalikan. Tempat-tempat
perdarahan tersebut mencakup : lokasi episiotomi, vulva, vagina dan serviks
serta uterus yang ruptur
Robekan jalan lahir merupakan
penyebab kedua tersering dari perdarahan post partum. Robekan dapat terjadi
bersamaan dengan atonia uteri.perdarahan post partum dengan uterus yang
berkontraksi baik biasanya disebabkan oleh robekan servik atau vagina (Wiknjosastro,
2005).
(1) Robekan servik
Persalinan sering mengakibatkan
robekan servik sehingga servik seorang multipara berbeda dari yang belum pernah
melahirkan pervaginam. Robekan servik yang luas menimbulkan perdarahan dan
dapat menjalar ke segmen bawah uterus. Apabila terjadi perdarahan yang tidak
berhenti, meskipun plasenta sudah lahir lengkap dan uterus sudah berkontraksi
dengan baik, perlu dipikirkan perlukaan jalan lahir, khususnya robekan serviks
uteri.
(2) Robekan vagina
Perlukaan vagina yang tidak berhubungan
dengan luka perineum tidak sering dijumpai. Mungkin ditemukan setelah
persalinan biasa, tetapi lebih sering terjadi akibat ekstraksi dengan cunam,
terlebih apabila kepal janin harus diputar. Robekan terdapat pada dinding
lateral dan baru terlihat pada pemeriksaan speculum.
(3) Robekan perinium
Robekan perineum terjadi pada
hampir semua persalinan pertama dna tidak jarang juga pada persalinan
berikutnya. Robekan perineum umumnya terjadi digaris tengah dan bisa menjadi
luasapabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil
dari pada biasa. Kepala janin melewati pintu panggul bawah dengan ukuran yang
lebih besar dan pada sirkum fensia sub oksiput bregmatika.
Laserasi pada traktus genetalia
sebaiknya dicurigai, ketika terjadi perdarahan yang berlangsung lama yang
menyertai kontraksi uterus yang kuat (Wiknjosastro, 2005).
Faktor-faktor predisposisi :
a) Anak besar
b) Persalinan dengan tindakan (operative delivery)
seperti ekstraksi vakum, embriotomi dan ekstraksi cunam.
c) Persalinan pervaginam dengan riwayat bekas seksio
sesaria dan operasi lain pada uterus
d) Persalinan yang belum berdilasi maksimal.
Selain itu faktor-faktor lain yang menyebabkan kehilangan darah secara berlebihan, bila terjadi
laserasi yaitu :
(a) Interval yang lama antara dilakukannya episiotomi dan kelahiran
anak.
(b) Perbaikan episiotomi setelah bayi dilahirkan tanpa semestinya
yaitu ditunggu terlalu lama.
(c) Pembuluh darah yang putus pada ujung episiotomi tidak berhasil
dijahit.
(d) Pemeriksaan inspeksi tidak dilakukan pada serviks dan vagina
bagian atas.
(e) Kemungkinan terdapatnya beberapa tempat cidera tidak terpikirkan
(f) Ketergantungan pada obat-obat oksitosik, yang disertai penundaan
terlalu lama mengeksplorasi uterus (Mochtar, 2005).
Hubungan laserasi dengan paritas adalah semakin meningkatnya
paritas, terjadinya laserasi jalan lahir semakin berkurang karena disebabkan
makin tingginya paritas jalan lahir makin longgar, sehingga kemungkinan terjadinya laserasi lebih kecil (Nikilah,
2004).
(4) Kelainan faktor bekuan darah
Afibrinogemi atau hipofibrinogemi
dapat terjadi setelah abrupsio/solusio plasenta, retensio uteri, janin mati
yang lama di dalam rahim dan pada emboli cairan ketuban. Salah satu teori
etiologik memperkirakan bahwa bahan tromboplastik yang timbul dari degenerasi
dan otolisis desidua serta plasenta dapat memasuki sirkulasi maternal dan
menimbulkan koagulasi intravaskuler serta penurunan fibrinogen yang beredar.
Kegagalan tersebut yaitu kegagalan pada mekanisme pembekuan, menyebabkan
perdarahan yang tidak dapat dihentikan dengan yang biasanya dipakai untuk
mengendalikan perdarahan. Kelainan bekuan periportal adalah faktor yang
beresiko tinggi pada perdarahan masa nifas tetapi umumnya sangat jarang
terjadi. Pasien dengan masalah pembekuan dapat menimbulkan perdarahan
postpartum, karena ketidakmam-puannya untuk membentuk bekuan darah yang stabil
di tempat pelekatan plasenta (Manuaba, 2007).
2) Sekunder
a) Perdarahan post partum akibat sub involusi
Sub involusi adalah kegagalan
uterus untuk mengikuti pola normal involusi. Dan keadaan ini merupakan salah satu dari penyebab terumum perdarahan pasca
partum. Fundus uteri letaknya tetap tinggi di dalam abdomen atau pelvis dari
yang diperkirakan. Keluaran lokia sering kali gagal berubah dari bentuk rubra
ke bentuk serosa, lalu ke bentuk lokia alba. Lokia yang tetap bertahan dalam
bentuk rubra selama lebih dari 2 minggu pasca partumsangatlah perlu dicurigai terjadi kasus sub involusi. Jumlah
lokia bisa lebih dari 2 minggu pasca partum sangatlah perlu dicurigai terjadi
kasus sub involusi. Jumlah lokia bisa lebih banyak dari pada yang diperkirakan.
Leukore, sakit punggung, dan lokia berbau menyengat, bisa terjadi jika ada
infeksi. Ibu bisa juga memiliki riwayat perdarahan yang berlebihan setelah
kelahiran (Wiknjosastro, 2005).
b) Perdarahan post partum akibat iversio uteri
Inversio uteri adalah keadaan
dimana fundus uteri terbalik sebagian atau terbalik seluruhnya masuk ke dalam
kavum uteri uterus dikatakan mengalami inversio jika bagian dalam menjadi
diluar saat melahirkan plasenta. Reposisi sebaiknya segera dilakukan dengan
berjalannya waktu, lingkaran kontraksi sekitar uterus yang terinversi akan
mengecil dan uterus akan mengecil dan uterus akan terisi darah (Wiknjosastro,
2005).
a) Pembagian inversio uteri :
(1) Inversio uteri ringan : fundus uteri terbalik menonjol ke dalam
kavum uteri namun belum dari ruang rongga rahim
(2) Inversio uteri sedang : terbalik dan sudah masuk ke dalam vagina
(3) Inversio uteri berat : uterus dan vagina semuanya terbalik dan
sebagian sudah keluar vagina (Manuaba, 2005).
b) Penyebab inversio uteri menurut Manuaba (2007), adalah
:
(1) Spontan : grande multipara, atoni uteri,
kelemahan alat kandungan, tekanan intra abdominal yang tinggi (mengejan dan
batuk).
(2) Tindakan : cara Crade yang berlebihan, tarikan tali pusat,
manual plasenta yang dipaksakan, perlekatan plasenta pada dinding rahim.
c) Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya inversio
uteri menurut Manuaba (2007), adalah :
(1) Uterus yang lembek, lemah, tipis dindingnya
(2) Tarikan tali pusat yang berlebihan
d) Pemeriksaan dalam :
(1) Bila masih inkomplit maka pada derah simpisis uterus teraba
fundus uteri cekung ke dalam
(2) Bila komplit, di atas simpisis uterus teraba kosong dan dalam
vagina teraba tumor lunak (Wiknjosastro, 2005)
c) Perdarahan post partum akibat Hematoma
Hematoma terjadi karena kompresi
yang kuat disepanjang traktus genitalia, dan tampak sebagai warna ungu pad
amukosa vagina atau perineum yang akimotik. Hematom yang kecil diatas dengan es
analgesik dan pemantauan yang terus menerus. Biasanya hematoma ini dapat diserap
kembali secara alami (Wiknjosastro, 2005).
Perdarahan mungkin terjadi kearah
jaringan ikat di bawah kulit yang menutupi genitalia eksterna atau di bawah
mukosa vagina, membentuk hematoma vulva dan hematoma vagina. Keadaan tersebut
biasanya terjadi setelah perlukaan pada pembuluh darah tanpa adanya laserasi
jaringan permukaan, dan dapat terjadi pada kelahiran spontan maupun kelahihan
operatif. Terkadang perdarahan tertunda, mungkin sebagai akibat terbukanya
pembuluh darah yang semula mengalami nekrosis akibat penekanan yang lama.
Jarang, bahwa pembuluh darah yang robek tersebut berada di atas fascia pelvis.
Pada keadaan tersebut, hematoma terjadi diatasnya. Pada permulaannya, hematoma
membentuk pembengkakan yang mengarah ke bagian atas saluran vagina dan menutupi
hampir seluruh lumennya. Bila perdarahan terus terjadi, perdarahan tersebut
menerobos ke arah jaringan retroperitoneal dan dengan demikian membentuk suatu
tumor yang dapat diraba diatas ligamentum poupart, atau dapat menerobos ke
atas, mencapai bagian bawah diafragama (Nikilah, 2008)
d) Plasenta Restan
Adanya sisa plasenta yang sudah
lepas tapi belum keluar ini akan menyebabkan perdarahan yang banyak. Sebabnya
bisa karena atonia uteri, karena adanya lingkaran konstriksi pada bagian bawah
rahim akibat kesalahan penanganan kala III, yang akan menghalangi plasenta
keluar (Mochtar, 2005).
e) Tertinggalnya sebagian plasenta
Biasanya, bagian yang tertinggal
menggalami nekrosis dengan pembentukan fibrin , dan kemudian membentuk apa yang
disebut polip plasenta. Pada waktu polip terlepas dari miometrium, dapat
terjadi perdarahan banyak.
5.
Fisiologi perdarahan postpartum
Umumnya pada persalinan yang
berlangsung normal, setelah janin lahir, uterus masih mengadakan kontraksi yang
mengakibatkan penciutan cavum uteri, tempat implantasi plasenta. Akibatnya,
plasenta akan lepas dari tempat implantasinya. Pelepasan ini dapat dimulai dari
tengah atau pinggir plasenta atau serempak dari tengah dan dari pinggir
plasenta. Cara yang pertama ditandai oleh makin panjang keluarnya tali pusat
dari vagina tanpa adanya perdarahan pervaginam. Sedangkan cara
yang kedua ditandai dengan adanya perdarahan pervaginam apabila plasenta mulai
terlepas. Umumnya perdarahan tidak melebihi 400 ml, bila lebih maka tergolong
patologik (Sarwono, 2005). Oleh karena itu, pada pelepasan plasenta selalu
diikuti oleh perdarahan karena sinus- sinus maternalis di tempat insersinya
pada dinding uterus terbuka. Biasanya perdarahan itu tidak banyak, sebab
kontraksi dan retraksi otot-otot uterus menekan pambuluh-pembuluh darah yang
terbuka sehingga lumennya menutup, kemudian pembuluh darah tersumbat oleh
bekuan darah (Sarwono, 2005). Apabila sebagian plasenta lepas sementara
sebagian lagi belum terlepas, maka akan terjadi perdarahan karena uterus tidak
bisa berkontraksi dangan baik pada batas antara dua bagian itu. Selanjutnya
apabila sebagian plasenta sudah lahir, tetapi sebagian kecil masih melekat pada
dinding uterus maka dapat timbul perdarahan pada masa nifas (Sarwono, 2005).
Menurut waktu terjadinya dibagi atas dua bagian : 1) Perdarahan post partum
primer (early post partum hemorrhage) yang terjadi dalam 24 jam setelah bayi
lahir. Terbanyak dalam 2 jam pertama. 2) Perdarahan post partum sekunder (late
post partum hemorrhage) yang terjadi setelah 24 jam, biasanya antara hari ke-5
sampai 15 post partum (Llewellyn, 2001).
6.
Patofisiologi
Pada dasarnya perdarahan terjadi
karena pembuluh darah didalam uterus masih terbuka. Pelepasan plasenta
memutuskan pembuluh darah dalam stratum spongiosum sehingga sinus-sinus
maternalis ditempat insersinya plasenta terbuka. Pada waktu uterus
berkontraksi, pembuluh darah yang terbuka tersebut akan menutup, kemudian
pembuluh darah tersumbat oleh bekuan darah sehingga perdarahan akan terhenti.
Adanya gangguan retraksi dan kontraksi otot uterus, akan menghambat penutupan
pembuluh darah dan menyebabkan perdarahan yang banyak. Keadaan demikian menjadi
faktor utama penyebab perdarahan paska persalinan. Perlukaan yang luas akan
menambah perdarahan seperti robekan servix, vagina dan perinium (Khaidir,
2008).
7.
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis terjadinya
perdarahan post partum menurut Vietha (2008), adalah :
a. Perdarahan post partum primer
1) Perubahan hemodinamik: hipotensi, takikardi
2) Oligouria (urin < 300 cc/ 24 jam)
3) Perdarahan > 500 cc/24 jam
4) Distensi kandung kemih
b. Perdarahan post partum sekunder
1) Perdarahan kadang banyak kadang sedikit
2) Perdarahan dengan bekuan sisa plasenta
3) Terdapat tanda subinvolusi
4) Lochea merah tua dan berbau jika terdapat infeksi
5) Kenaikan suhu badan
8.
Diagnosa perdarahan post partum
Diagnosis biasanya tidak sulit,
terutama apabila timbul perdarahan banyak dalam waktu pendek. Tetapi bila
perdarahan sedikit dalam waktu lama, tanpa disadari penderita telah kehilangan
banyak darah sebelum ia tampak pucat. Nadi serta pernapasan menjadi lebih cepat
dan tekanan darah menurun. Diagnosis perdarahan dipermudah apabila pada
tiap-tiap persalinan setelah anak lahir secara rutin diukur pengeluaran darah
dalam kala III dan satu jam berikutnya (Mochtar, 2005).
Cara membuat diagnosis perdarahan
post partum menurut Mochtar (2005), adalah :
a. Palpasi uterus : bagaimana kontraksi uterus dan tinggi
fundus uterus.
b. Memeriksa plasenta dan ketuban : apakah lengkap atau tidak.
c. Melakukan eksplorasi kavum uteri untuk mencari :
1) Sisa plasenta dan ketuban.
2) Robekan rahim.
3) Plasenta suksenturiata.
d. Inspekulo : untuk melihat robekan pada serviks, vagina dan
varises yang pecah.
e. Pemeriksaan laboratorium : periksa darah, hemoglobin,
clot observation test (COT), dan lain-lain.
9.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang dalam
perdarahan post partum menurut Rochmat (2008), adalah :
a. Golongan darah : menentukan Rh, ABO dan percocokan silang
b. Jumlah darah lengkap : menunjukkan penurunan Hb/Ht dan
peningkatan jumlah sel darah putuih (SDP). (Hb saat tidak hamil:12-16gr/dl,
saat hamil: 10-14gr/dl. Ht saat tidak hamil : 37%-47%, saat hamil:32%-42%.
Total SDP saat tidak hamil 4.500-10.000/mm3. saat hamil 5.000-15.000)
c. Kultur uterus dan vagina : mengesampingkan infeksi pasca partum
d. Urinalisis : memastikan kerusakan kandung kemih
e. Profil koagulasi : peningkatan degradasi, kadar produk
fibrin/produk split fibrin (FDP/FSP), penurunan kadar fibrinogen : masa
tromboplastin partial diaktivasi, masa tromboplastin partial (APT/PTT), masa
protrombin memanjang pada KID
f. Sonografi : menentukan adanya jaringan plasenta yang tertahan
10.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan
perdarahan post partum menurut Khaidir (2008), adalah :
a. Penatalaksanaan umum
1) Ketahui secara pasti kondisi ibu bersalin sejak awal
2) Pimpin persalinan dengan mengacu pada persalinan
bersih dan aman
3) Selalu siapkan keperluan tindakan gawat darurat
4) Segera lakukan penilaian klinik dan upaya pertolongan
apabila dihadapkan dengan masalah dan komplikasi
5) Atasi syok jika terjadi syok
6) Pastikan kontraksi berlangsung baik ( keluarkan bekuan
darah, lakukan pijatan uterus, beri uterotonika 10 IV dilanjutkan infus 20 ml
dalam 500 cc NS/RL dengan tetesan 40 tetes/menit ).
7) Pastikan plasenta telah lahir lengkap dan eksplorasi
kemungkinan robekan jalan lahir
8) Bila perdarahan tidak berlangsung, lakukan uji bekuan
darah.
9) Pasang kateter tetap dan pantau cairan keluar masuk
10) Lakukan observasi ketat pada 2
jam pertama paska persalinan dan lanjutkan pemantauan terjadwal hingga 4 jam
berikutnya.
b. Penatalaksanaan khusus
1) Atonia uteri
a) Kenali dan tegakan kerja atonia uteri.
b) Sambil melakukan pemasangan infus dan pemberian
uterotonika, lakukan pengurutan uterus.
c) Pastikan plasenta lahir lengkap dan tidak ada laserasi
jalan lahir.
d) Lakukan tindakan spesifik yang diperlukan :
1) Kompresi bimanual eksternal yaitu menekan uterus
melalui dinding abdomen dengan jalan saling mendekatkan kedua belah telapak
tangan yang melingkupi uteus. Bila perdarahan berkurang kompresi diteruskan,
pertahankan hingga uterus dapat kembali berkontraksi atau dibawa ke fasilitas
kesehatan rujukan
2) Kompresi bimanual internal yaituv uterus ditekan diantara telapak
tangan pada dinding abdomen dan tinju tangan dalam vagina untuk menjempit
pembuluh darah didalam miometrium.
3) Kompresi aorta abdominalis yaitu raba arteri femoralis
dengan ujung jari tangan kiri, pertahankan posisi tersebut genggam tangan kanan
kemudian tekankan pada daerah umbilikus, tegak lurus dengan sumbu badan, hingga
mencapai kolumna vertebralis, penekanan yang tepat akan menghetikan atau
mengurangi, denyut arteri femoralis.
2) Retensio plasenta dengan separasi parsial
a) Tentukan jenis retensio yang terjadi karena berkaitan
dengan tindakan yang akan diambil.
b) Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk mengejan,
bila ekspulsi tidak terjadi cobakan traksi terkontrol tali pusat.
c) Pasang infus oksitosin 20 unit/500 cc NS atau RL
dengan tetesan 40/menit, bila perlu kombinasikan dengan misoprostol 400mg per
rektal.
d) Bila traksi terkontrol gagal melahirkan plasenta,
lakukan manual plasenta secara hati-hati dan halus.
e) Restorasi cairan untuk mengatasi hipovolemia.
f) Lakukan transfusi darah bila diperlukan.
g) Berikan antibiotik profilaksis (ampicilin 2 gr IV/oral
+ metronidazole 1 g supp/oral ).
3) Plasenta inkaserata
a) Tentukan diagnosis kerja
b) Siapkan peralatan dan bahan untuk menghilangkan
kontriksi serviks yang kuat, tetapi siapkan infus fluothane atau eter untuk
menghilangkan kontriksi serviks yang kuat, tetapi siapkan infus oksitosin 20
Untuk500 NS atau RL untuk mengantisipasi gangguan kontraksi uterus yang mungkin
timbul.
c) Bila bahan anestesi tidak tersedia, lakukan manuver
sekrup untuk melahirkan plasenta.
d) Pasang spekulum Sims sehingga ostium dan sebagian
plasenta tampak jelas.
e) Jepit porsio dengan klem ovum pada jam 12, 4 dan 8 dan
lepaskan spekulum
f) Tarik ketiga klem ovum agar ostium, tali pusat dan
plasenta tampak jelas.
g) Tarik tali pusat ke lateral sehingga menampakkan
plasenta disisi berlawanan agar dapat dijepit sebanyak mungkin, minta asisten
untuk memegang klem tersebut.
h) Lakukan hal yang sama pada plasenta kontra lateralv
i) Satukan kedua klem tersebut,
kemudian sambil diputar searah jarum jam tarik plasenta keluar perlahan-lahan.
4) Ruptur uteri
a) Berikan segera cairan isotonik (RL/NS) 500 cc dalam
15-20 menit dan siapkan laparatomi.
b) Lakukan laparatomi untuk melahirkan anak dan plasenta,
fasilitas pelayanan kesehatan dasar harus merujuk pasien ke rumah sakit rujukan
c) Bila konservasi uterus masih diperlukan dan kondisi
jaringan memungkinkan, lakukan operasi uterus.
d) Bila luka mengalami nekrosis yang luas dan kondisi
pasien mengkwatirkan lakukan histerektomi
e) Lakukan bilasan peritonial dan pasang drain dari cavum
abdomenv
f) Antibiotik dan serum anti tetanus, bila ada
tanda-tanda infeksi.v
5) Sisa plasenta
a) Penemuan secara dini, dengan memeriksa kelengkapan
plasenta setelah dilahirkan.
b) Berikan antibiotika karena kemungkinan ada
endometriosisv
c) Lakukan eksplorasi digital/bila serviks terbuka dan
mengeluarkan bekuan darah atau jaringan, bila serviks hanya dapat dilalui oleh
instrument, lakukan evakuasi sisa plasenta dengan dilatasi dan kuret.
d) Hb 8 gr % berikan transfusi atau berikan sulfat
ferosus 600 mg/hari selama 10 hari.
6) Ruptur peritonium dan robekan dinding vagina
a) Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi lokasi
laserasi dan sumber perdarahan.
b) Lakukan irigasi pada tempat luka dan bubuhi larutan
antiseptik.
c) Jepit dengan ujung klem sumber perdarahan kemudian
ikat dengan benang yang dapat diserap.
d) Lakukan penjahitan luka dari bagian yang paling distalv
e) Khusus pada ruptur perineum komplit dilakukan
penjahitan lapis demi lapis dengan bantuan busi pada rektum, sebagai berikut :v
f) Setelah prosedur aseptik- antiseptik, pasang busi
rektum hingga ujung robekan.
g) Mulai penjahitan dari ujung robekan dengan jahitan dan
simpul sub mukosa, menggunakan benang polyglikolik no 2/0 (deton/vierge) hingga
ke sfinter ani, jepit kedua sfinter ani dengan klem dan jahit dengan benang no
2/0.
h) Lanjutkan penjahitan ke lapisan otot perineum dan sub
mukosa dengan benang yang sama (atau kromik 2/0 ) secara jelujur.
i) Mukosa vagina dan kulit perineum
dijahit secara sub mukosa dan sub kutikuler.
j) Berikan antibiotik profilaksis. Jika luka kotor berikan
antibiotika untuk terapi.
7) Robekan serviks
a) Sering terjadi pada sisi lateral, karena serviks yang
terjulur akan mengalami robekan pada posisi spina ishiadika tertekan oleh
kepala bayi.
b) Bila kontraksi uterus baik, plasenta lahir lengkap,
tetapi terjadi perdarahan banyak maka segera lihat bagian lateral bawah kiri
dan kanan porsio
c) Jepitan klem ovum pada kedua sisi porsio yang robekv sehingga perdarahan dapat segera
di hentikan, jika setelah eksploitasi lanjutkan tidak dijumpai robekan lain,
lakukan penjahitan, jahitan dimulai dari ujung atas robekan kemudian kearah
luar sehingga semua robekan dapat dijahit.
d) Setelah tindakan periksa tanda vital, kontraksi
uterus, tinggi fundus uteri dan perdarahan paska tindakan.
e) Berikan antibiotika profilaksis, kecuali bila jelas
ditemui tanda-tanda infeksi.
f) Bila terjadi defisit cairan lakukan restorasi dan bila
kadar Hb dibawah 8 gr% berikan transfusi darah.
11.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perdarahan post partum
a. Faktor usia
Usia dan
fisik wanita sangat berpengaruh terhadap proses kehamilan pertama, pada
kesehatan janin dan proses persalinan. World Health Organisation WHO)
memberikan rekomendasisebagaimana
disampaikan Seno (2008) seorang ahli kebidanan dan kandungan dari RSUPN Cipto
Mangunkusumo, Sampai sekarang, rekomendasi WHO untuk usia yang dianggap paling aman
menjalani kehamilan dan persalinan adalah 20 hingga 30
tahun. Kehamilan di usia kurang dari 20 tahun dapat menimbulkan masalah karena
kondisi fisik belum 100% siap.
Beberapa
resiko yang bisa terjadi pada kehamilan di usia kurang dari 20 tahun adalah
kecenderungan naiknya tekanan darah dan pertumbuhan janin terhambat. Bisa jadi secara
mental pun wanita belum siap. Ini menyebabkan kesadaran untuk memeriksakan diri dan
kandungannya menjadi rendah. Di luar urusan kehamilan dan
persalinan, risiko kanker leher rahim pun meningkatakibat hubungan
seks dan melahirkan sebelum usia 20 tahun ini. Berbeda
dengan wanita usia 20-30 tahun yang dianggap ideal untuk menjalani kehamilan
dan persalinan.
Di rentang
usia ini kondisi fisik wanita dalam keadaan prima. Rahim sudah mampu memberi
perlindungan atau
kondisi yang maksimal untuk kehamilan.
Umumnya secara mental pun siap, yang berdampak pada perilaku merawat dan menjaga kehamilannya secara
hati-hati.
Pendapat Seno (2008), usia 30-35
tahun sebenarnya merupakan masa transisi “Kehamilan pada usia ini masih bisa
diterima asal kondisi tubuh dan kesehatan wanita yang
bersangkutan termasuk gizinya, dalam keadaan baik”. Mau tidak mau, suka atau
tidak suka, proses kehamilan dan persalinan berkaitan dengan kondisi dan fungsi
organ-organ wanita. Artinya, sejalan dengan bertambahnya usia, tidak sedikit fungsi
organ yang menurun. Semakin bertambah usia, semakin sulithamil karena sel telur yang siap dibuahi semakin sedikit. Selain itu,
kualitas sel telur juga semakin menurun. Itu sebabnya, pada kehamilan pertama
di usia lanjut, resiko perkembangan janin tidak normal dan timbulnya penyakit
kelainan bawaan juga tinggi, begitu juga kondisi-kondisi lain yang mungkin
mengganggu proses kehamilan dan persalinan seperti kelahiran preterm, ketuban
pecah dini maupun perdarahan.
Lebih lanjut
Seno (2008) menjelaskan, meningkatnya usia juga membuat
kondisi dan fungsi rahim menurun. Salah satu akibatnya adalah jaringan rahim
yang tak lagi subur. Padahal,
dinding rahim tempat menempelnya plasenta. Kondisi ini memunculkan
kecenderungan terjadinya plasenta previa atau plasenta tidak menempel di tempat
semestinya. Selain itu, jaringan rongga panggul dan otot-ototnya pun melemah
sejalan pertambahan usia. Hal ini membuat rongga panggul tidak mudah lagi
menghadapi dan mengatasi komplikasi yang berat, seperti perdarahan. Pada
keadaan tertentu, kondisi hormonalnya tidak seoptimal usia sebelumnya. Itu
sebabnya, resiko keguguran, ketuban pecah, kematian janin, perdarahan dan
komplikasi lainnya juga meningkat.
Perdarahan
pascapersalinan dan usia ibu Wanita yang melahirkan anak pada usia dibawah 20
tahun atau lebih dari 35 tahun merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan
pascapersalinan yang dapat mengakibatkan kematian maternal. Hal ini dikarenakan
pada usia dibawah 20 tahun fungsi reproduksi seorang wanita belum berkembang
dengan sempurna, sedangkan pada usia diatas 35 tahun fungsi reproduksi seorang
wanita sudah mengalami penurunan dibandingkan fungsi reproduksi normal sehingga
kemungkinan untuk terjadinya komplikasi pascapersalinan terutama perdarahan
akan lebih besar. Perdarahan post partum yang mengakibatkan kematian maternal
pada wanita hamil yang melahirkan pada usia dibawah 20 tahun 2-5 kali lebih
tinggi daripada perdarahan post partum yang terjadi pada usia 20-29 tahun.
Perdarahan post partum meningkat kembali setelah usia 30-35 tahun.
b. Paritas
Paritas
adalah banyaknya kelahiran hidup yang dipunyai oleh seorang wanita (BKKBN,
2006). Menurut Prawirohardjo (2009), paritas dapat dibedakan menjadi primipara,
multipara dan grandemultipara.
Paritas
adalah jumlah kehamilan yang menghasilkan janin yang mampu hidup diluar rahim
(28 minggu) (JHPIEGO, 2008). Sedangkan menurut Manuaba (2008), paritas adalah
wanita yang pernah melahirkan bayi aterm.
Klasifikasi Paritas
1) Primipara
Primipara adalah wanita yang
telah melahirkan seorang anak, yang cukup besar untuk hidup di dunia luar
(Varney, 2006).
2) Multipara
Multipara adalah wanita yang
telah melahirkan seorang anak lebih dari satu kali (Prawirohardjo, 2009).
3) Grandemultipara
Grandemultipara adalah wanita
yang telah melahirkan 5 orang anak atau lebih dan biasanya mengalami penyulit
dalam kehamilan dan persalinan (Manuaba, 2008).
Paritas 2-3 merupakan paritas
paling aman ditinjau dari sudut perdarahan post partum yang dapat mengakibatkan
kematian maternal. Paritas satu dan paritas tinggi
(lebih dari tiga) mempunyai angka kejadian perdarahan pascapersalinan lebih
tinggi. Pada paritas yang rendah (paritas satu), ketidaksiapan ibu dalam
menghadapi persalinan yang pertama merupakan faktor penyebab ketidakmampuan ibu
hamil dalam menangani komplikasi yang terjadi selama kehamilan, persalinan dan
nifas.
Ibu-ibu yang
dengan kehamilan lebih dari 1 kali atau yang termasuk multigravida mempunyai
risiko lebih tinggi terhadap terjadinya perdarahan pascapersalinan dibandingkan
dengan ibu-ibu yang termasuk golongan primigravida (hamil pertama kali). Hal
ini dikarenakan pada multigravida, fungsi reproduksi mengalami penurunan
sehingga kemungkinan terjadinya perdarahan post partum menjadi lebih besar.
c. Antenatal Care
Tujuan umum
antenatal care adalah menyiapkan seoptimal mungkin fisik dan mental ibu serta
anak selama dalam kehamilan, persalinan dan nifas sehingga angka morbiditas dan
mortalitas ibu serta anak dapat diturunkan. Pemeriksaan antenatal yang baik dan
tersedianya fasilitas rujukan bagi kasus risiko tinggi terutama perdarahan yang
selalu mungkin terjadi setelah persalinan yang mengakibatkan kematian maternal
dapat diturunkan. Hal ini disebabkan karena dengan adanya antenatal care
tanda-tanda dini perdarahan yang berlebihan dapat dideteksi dan ditanggulangi
dengan cepat (Wiknjosastro, 2005).
d. Anemia kehamilan
Anemia
adalah suatu keadaan yang ditandai dengan penurunan nilai hemoglobin dibawah
nilai normal. Dikatakan anemia jika kadar hemoglobin kurang dari 11 gr%.
Perdarahan pascapersalinan mengakibatkan hilangnya darah sebanyak 500 ml atau
lebih, dan jika hal ini terus dibiarkan tanpa adanya penanganan yang tepat dan
akurat akan mengakibatkan turunnya kadar hemoglobin dibawah nilai normal.
Pada anemia
jumlah efektif sel darah merah berkurang. Hal ini mempengaruhi jumlah
haemoglobin dalam darah. Berkurangnya jumlah haemoglobin menyebabkan jumlah
oksigen yang diikat dalam darah juga sedikit, sehingga mengurangi jumlah
pengiriman oksigen ke organ-organ vital (Anderson, 2007).
Anemia dalam
kehamilan dapat berpengaruh buruk terutama saat kehamilan, persalinan dan
nifas. Prevalensi anemia yang tinggiberakibat negatif seperti: 1) Gangguan dan
hambatan pada pertumbuhan,baik sel tubuh maupun sel otak, 2) Kekurangan Hb dalam
darah mengakibatkan kurangnya oksigen yang dibawa/ditransfer ke sel tubuh
maupun ke otak. Sehingga dapat memberikan efek buruk pada ibu itu sendiri
maupun pada bayi yang dilahirkan (Manuaba, 2007).
Setiap
kehamilan akan menguras persediaan Fe tubuh, apabila cadangan Fe minimal
akhirnya menimbulkan anemia pada kehamilan berikutnya. Kehamilan relatif
terjadi anemia karena darah ibu hamil mengalami hemodilusi (pengenceran) dengan
peningkatan volume 30% sampai 40% yang puncaknya pada kehamilan 32 sampai 34
minggu. Jumlah peningkatan sel darah 18% sampai 30%, dan hemoglobin sekitar
19%. Hemoglobin ibu sebelum hamil sekitar 11 gr% maka dengan terjadinya
hemodilusi akan mengakibatkan anemia hamil fisiologis dan Hb ibu akan menjadi
9,5 sampai 10 gr% (Manuaba, 2010).
Pada saat
hamil, bila terjadi anemia dan tidak tertangani hingga akhir kehamilan maka
akan berpengaruh pada saat postpartum. Pada ibu dengan anemia, saat postpartum
akan mengalami atonia uteri. Hal ini disebabkan karena oksigen yang dikirim ke
uterus kurang. Jumlah oksigen dalam darah yang kurang menyebabkan otot-otot
uterus tidak berkontraksi dengan adekuat sehingga timbul atonia uteri yang
mengakibatkan perdarahan banyak (Manuaba, 2007).
12.
Komplikasi perdarahan post partum
Disamping menyebabkan kematian, perdarahan pascapersalinan memperbesar
kemungkinan infeksi puerperal karena daya tahan penderita berkurang. Perdarahan
banyak kelak bisa menyebabkan sindrom Sheehan sebagai akibat nekrosis pada
hipofisisis pars anterior sehingga terjadi insufisiensi pada bagian tersebut.
Gejalanya adalah hipotensi, anemia, dan turunnya berat badan. Penurunan fungsi
seksual dengan atrofi alat alat genital, kehilangan rambut pubis dan ketiak,
penurunan metabolisme dengan hipotensi, amenore dan kehilangan fungsi laktasi
(Rochmat, 2008).