retty

Thursday, November 14, 2019

Perdarahan Postpartum



Perdarahan Post Partum

1.    Pengertian
a.    Definisi perdarahan adalah kehilangan darah secara abnormal. Rata-rata kehilangan darah selama kelahiran pervaginam yang ditolong dokter obstetrik tanpa komplikasi lebih dari 500 ml, tapi belum dipelajari dan diuji, kehilangan darah rata-rata selama secsio sesaria sekitar 1000 ml (Varney, 2008).
b.   Perdarahan post partum adalah perdarahan lebih dari 500-600 ml selama 24 jam setelah anak lahir termasuk perdarahan karena retensio plasenta. Perdarahan post partum adalah perdarahan dalam kala IV lebih dari 500-600 cc dalam 24 jam setelah anak dan plasenta lahir (Mochtar, 2005).
c.   Perdarahan postpartum adalah perdarahan setelah bayi lahir, sedangkan tentang jumlah perdarahan, di sebutkan sebagai perdarahan yang lebih dari normal dimana telah menyebabkan perubahan tanda vital (pasien mengeluh lemah, limbung, berkeringat dingin, menggigil, hiperpnea, tekanan darah sistolik 90/100 x/menit, kadar Hb 8 (Prawiroharjo, 2002)
2.    Klasifikasi
Menurut Wiknjosastro, 2005 perdarahan post partum diklasifikasikan menjadi 2, yaitu :
a.    Perdarahan post partum primer : sejak kelahiran sampai 24 jam pasca partum.
b.   Perdarahan post partum sekunder : 24 jam sampai 6 minggu pasca partum
3.    Epidemiologi
Perdarahan post partum dini jarang disebabkan oleh retensi potongan plasenta yang kecil, tetapi plasenta yang tersisa sering menyebabkan perdarahan pada akhir masa nifas. Kadang-kadang plasenta tidak segera terlepas. Bidang obstetri membuat batas-batas durasi kala tiga secara agak ketat sebagai upaya untuk mendefenisikan retensio plasenta shingga perdarahan akibat terlalu lambatnya pemisahan plasenta dapat dikurangi. Combs dan Laros meneliti 12.275 persalinan pervaginam tunggal dan melaporkan median durasi kala III adalah 6 menit dan 3,3% berlangsung lebih dari 30 menit. Beberapa tindakan untuk mengatasi perdarahan, termasuk kuretase atau transfusi, menigkat pada kala tiga yang mendekati 30 menit atau lebih (Anggraeni, 2007).
Efek perdarahan banyak bergantung pada volume darah pada sebelum hamil dan derajat anemia saat kelahiran. Gambaran perdarahan post partum yang dapat mengecohkan adalah nadi dan tekanan darah yang masih dalam batas normal sampai terjadi kehilangan darah yang sangat banyak (Anggraeni, 2007).
4.    Etiologi
a.    Penyebab umum terjadinya perdarahan post partum menurut Mochtar (2005), adalah :
1)     Keadaan umum ibu yang lemah karena Anemia
Ibu yang mengalami anemia akan mengalami kekurangan O2 yang mengakibatkan sirkulasi darah yang mengalir di tubuh menjadi berkurang, lalu menyebabkan tenaga ibu berkurang dan selanjutnya kontraksi uterus pun juga mengalami kelemahan. Keadaan inilah yang menyebabkan terjadinya perdarahan.

2)    Multiparitas
Ibu yang sudah bekali-kali melahirkan anak. Keadaan uterusnya akan mengalami perubahan dalam hal keelastisitasan. Semakin elastic dan besar ukuran uterus tersebut maka kontraksi tersebut akan semakin lambat sehingga perdarahan pun terjadi.
3)     Pasca tindakan oprasi
Seorang ibu yang telah mengalami oprasi di bagian alat kandungan akan menjadi lebih rawan mengalami perdarahan. Hal ini dikarenakan kemungkinan terbukanya kembali luka bekas oprasi sehingga perdarahan akan terjadi dari luka tersebut.
4)    Distensi uterus berlebih
Keadaan distensi uterus ini dapat terjadi pada kehamilan kembar, kehamilan dengan hidramnion, dan janin yang besar. Sama halnya dengan multiparitas, ukuran uterus pada kehamilan ini akan lebih besar dan bisa menyebabkan lemahnya kontraksi.
5)    Kelelahan ibu
Kelelahan ibu ini dapat terjadi pada persalinan prolong labour atau partus lama yaitu partus >12 jam atau kala I fase laten >8 jam atau pada patograf melebihi garis waspada. Negleted labour atau partus terlantar. Partus terlantar ini adalah kelanjutan dari partus lama dimana ibu yang sudah mengalami partus lama dan tidak mendapatkan penanganan lebih lanjut, sehingga terjadilah partus terlantar
6)    Trauma persalinan
Yaitu terjadinya robekan pada vagina dan perineum, servik, fornik, uterus.

7)    Gangguan kontraksi
Terjadinya covalaire uteri atau timbulnya bercak-bercak pada uterus. Keadaan ini biasa terjadi pada kasus solusio plasenta.
b.   Penyebab  primer
1)     Atonia Uteri
Perdarahan post partum dapat terjadi karena terlepasnya sebagian plasenta dari rahim dan sebagian lagi belum, karena perlukaan pada jalan lahir atau karena atonia uteri. Atonia uteri merupakan sebab terpenting perdarahan post partum. Atonia uteri dapat terjadi karena proses persalinan yang lama, perdarahan rahim yang berlebihan pada waktu hamil seperti pada hamil kembar atau janin besar, persalinan yang sering dijumpai (multiparitas) atau anestesi yang dalam. Atonia uteri, rahim membesar dan lembek.
Perdarahan yang disebabkan atonia uteri dilakukan masase perdarahan dan suntikan ergometin ke dalam pembuluh balik. Bila tidak memberikan hasil yang diharapkan dalam waktu singkat, dilakukan kompresi bimanual pada rahim, bila perlu dilakukan temponade uterus vaginal. Yaitu dimasukan tampon ke dalam rahim sampai rongga rahim terisi penuh (Wiknjosastro, 2005)
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perdarahan akibat atonia uteri adalah :
a)    Faktor predisposisi
(1)   Multiparitas uterus yang telah melahirkan banyak anak cenderung bekerja tidak efisien dalam semua kala persalinan. Paritas tinggi merupakan salah satu faktor resiko terjadinya perdarahan postpartum (Pritchard, 1999). Hal ini disebabkan pada ibu dengan paritas tinggi yang mengalami persalinan cenderung terjadi atonia uteri. Atonia uteri pada ibu dengan paritas tinggi terjadi karena kondisi miometriunm dan tonus ototnya sudah tidak baik lagi sehingga menimbulkan kegagalan kompresi pembuluhdarah pada tempat implantasi plaseta yang akibatnya terjadi perdarahan postpartum.
(2)   Peregangan uterus yang berlebihan (over distensi) Uterus yang mengalami peregangan secara berlebihan akibat keadaan-keadaan seperti bayi besar, kehamilan kembar dan polihidramnion cenderung mempunyai daya kontraksi yang jelek (Depkes RI, 2001).
(3)   Kerja uterus tidak efektif pada kala I dan kala II, kemungkinan besar akan diikuti oleh kontraksi serta retraksi miometrium yang jelek dalam kala III.
(4)   Kelelahan akibat partus lama Bukan hanya rahim yang lelah cenderung berkontraksi lemah setelah melahirkan tetapi juga ibu yang kelelahan kurang mampu bertahan terhadap kehilangan darah
(5)   Pimpinan persalinan yang salah dalam kala uri
Kesalahan yang paling sering adalah mencoba mempercepat kala III. Dorongan dan pemijatan uterus mengganggu mekanisme fisiologis pelepasan plasenta dan dapat menyebabkan pemisahan sebagian plasenta yang mengakibatkan perdarahan.
(6)   Perlekatan plasenta terlalu erat Seperti pada plasenta akreta partialis dimana kontraksi uterus terganggu, gangguan terhadap kemampuan uterus berkontraksi juga bisa disebabkan oleh sisa plasenta atau selaput ketuban dan kandung kemih yang penuh.
(7)  Anestesi Anestesi inhalasi yang dalam dan lama dengan menggunakan bahan seperti halothan atau ether merupakan faktor yang sering menjadi penyebab. Terjadi relaksasi miometrium yang berlebihan, kegagalan kontraksi serta retraksi, atonia uteri dan perdarahan post partum.
b)    Faktor medis (Depkes, 2001).
(1)   Anemia
(2)   Penyakit-penyakit lain, misalnya kencing manis, hepatitis, dan hemoglobinopati.
c)    Faktor obstetrik lainnya (Depkes, 2001).
(1)   Riwayat perdarahan post partum
(2)   Eklampsi, induksi persalinan, partus presipitatus, bedah sesar, korioamnionitis atau endometritis, DIC (Dissemined Intra Vascular Coagulation / pembekuan darah intra vaskuler merata). 
2)    Retensio Plasenta
Retensio plasenta adalah plasenta yang belum lahir setengah jam sesudah bayi lahir (Wiknjosastro, 2002).
Penyebab terjadinya retensio plasenta yaitu :
a)    Fungsionil
(1)   His kurang kuat
(2)   Plasenta sukar terlepas karena mempunyai inersi di sudut tuba, berbentuk plasenta membranasea atau plasenta anularis, berukuran sangat kecil dan plasenta yang sukar lepas karena sebab-sebab tersebut diatas disebut plasenta adesiva (Wiknjosastro, 2002).
b)    Patologi anatomis (Mochtar, 2005)
(1)   Plasenta inkreta, dimana vili korealis tumbuh lebih dalam dan menembus desidua sampai ke miometrium
(2)   Plasenta akreta, yang menembus lebih dalam ke dalam miometrium tetapi belum menembus serosa.
(3)   Plasenta perkreta, yang menembus sampai serosa atau peritoneum dinding rahim.
c)    Faktor uterus (Wiknjosastro, 2002).
(1)   Kelainan bentuk uterus (bicornus, berseptum)
(2)   Mioma uterus
(3)   Riwayat tindakan pada uterus yaitu tindakan bedah sesar, operasi uterus yang mencapai kavum uteri, abortus dan dilakukan kuretase yang bisa menyebabkan implantasi plasenta abnormal. Retensio sebagian atau seluruh plasenta dalam rahim akan mengganggu kontraksi dan retraksi, menyebabkan sinus-sinus tetap terbuka, dan menimbulkan perdarahan post partum. Begitu bagian plasenta terlepas dari dinding uterus, perdarahan terjadi dari daerah tersebut. Bagian plasenta yang masih melekat melintangi retraksi miometrium dan perdarahan berlangsung terus sampai sisa organ tersebut terlepas serta dikeluarkan (Wiknjosastro, 2002). Pada retensio plasenta baik seluruh atau sebagian lobus suksenturiata, sebuah kotiledon atau suatu fragmen plasenta yang tertinggal pada dinding uterus dapat menyebabkan perdarahan post partum. Tidak ada hubungan antara banyaknya bagian plasenta yang masih melekat dengan beratny perdarahan. Hal yang perlu diperhatikan adalah derajat atau dalamnya perlekatan plasenta tersebut.
d)    Faktor-faktor predisposisi terjadinya retensio plasenta
(1)   Paritas Ibu Pada multipara akan terjadi kemunduran dan cacat pada endometrium yang mengakibatkan terjadinya fibrosis pada bekas implantasi plasenta pada persalinan sebelumnya, sehingga vaskularisasi menjadi berkurang. Untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan janin, plasenta akan mengadakan perluasan implantasi dan vili khorialis akan menembus dinding uterus lebih dalam lagi sehingga akan terjadi plasenta adhesiva sampai perkreta. Angka kejadian tertinggi retensio plasenta pada multipara dan pada paritas 4-5.
(2)   Umur Makin tua umur ibu maka akan terjadi kemunduran yang progresif dari endometrium sehingga untuk mencukupi kebutuhan nutrisi janin diperlukan pertumbuhan plasenta yang lebih luas (Nikilah, 2008).
3)     Laserasi jalan lahir atau trauma jalan lahir
Perdarahan yang cukup banyak dapat terjadi dan robekan yang dialami selama proses melahirkan baik yang normal ataupun dengan tindakan. Jalan lahir harus diinspeksi sesudah tiap kelahiran selesai sehingga sumber perdarahan bisa dikendalikan. Tempat-tempat perdarahan tersebut mencakup : lokasi episiotomi, vulva, vagina dan serviks serta  uterus yang ruptur
Robekan jalan lahir merupakan penyebab kedua tersering dari perdarahan post partum. Robekan dapat terjadi bersamaan dengan atonia uteri.perdarahan post partum dengan uterus yang berkontraksi baik biasanya disebabkan oleh robekan servik atau vagina (Wiknjosastro, 2005).
(1)   Robekan servik
Persalinan sering mengakibatkan robekan servik sehingga servik seorang multipara berbeda dari yang belum pernah melahirkan pervaginam. Robekan servik yang luas menimbulkan perdarahan dan dapat menjalar ke segmen bawah uterus. Apabila terjadi perdarahan yang tidak berhenti, meskipun plasenta sudah lahir lengkap dan uterus sudah berkontraksi dengan baik, perlu dipikirkan perlukaan jalan lahir, khususnya robekan serviks uteri.
(2)   Robekan vagina
Perlukaan vagina yang tidak berhubungan dengan luka perineum tidak sering dijumpai. Mungkin ditemukan setelah persalinan biasa, tetapi lebih sering terjadi akibat ekstraksi dengan cunam, terlebih apabila kepal janin harus diputar. Robekan terdapat pada dinding lateral dan baru terlihat pada pemeriksaan speculum.
(3)   Robekan perinium
Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dna tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan perineum umumnya terjadi digaris tengah dan bisa menjadi luasapabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil dari pada biasa. Kepala janin melewati pintu panggul bawah dengan ukuran yang lebih besar dan pada sirkum fensia sub oksiput bregmatika.
Laserasi pada traktus genetalia sebaiknya dicurigai, ketika terjadi perdarahan yang berlangsung lama yang menyertai kontraksi uterus yang kuat (Wiknjosastro, 2005).
Faktor-faktor predisposisi :
a)    Anak besar
b)    Persalinan dengan tindakan (operative delivery) seperti ekstraksi vakum, embriotomi dan ekstraksi cunam.
c)    Persalinan pervaginam dengan riwayat bekas seksio sesaria dan operasi lain pada uterus
d)    Persalinan yang belum berdilasi maksimal.
Selain itu faktor-faktor lain yang menyebabkan kehilangan darah secara berlebihan, bila terjadi laserasi yaitu :
(a)  Interval yang lama antara dilakukannya episiotomi dan kelahiran anak.
(b)  Perbaikan episiotomi setelah bayi dilahirkan tanpa semestinya yaitu ditunggu terlalu lama.
(c)  Pembuluh darah yang putus pada ujung episiotomi tidak berhasil dijahit.
(d)  Pemeriksaan inspeksi tidak dilakukan pada serviks dan vagina bagian atas.
(e)  Kemungkinan terdapatnya beberapa tempat cidera tidak terpikirkan
(f)   Ketergantungan pada obat-obat oksitosik, yang disertai penundaan terlalu lama mengeksplorasi uterus (Mochtar, 2005).

Hubungan laserasi dengan paritas adalah semakin meningkatnya paritas, terjadinya laserasi jalan lahir semakin berkurang karena disebabkan makin tingginya paritas jalan lahir makin longgar, sehingga kemungkinan terjadinya laserasi lebih kecil (Nikilah, 2004).
(4)    Kelainan faktor bekuan darah
Afibrinogemi atau hipofibrinogemi dapat terjadi setelah abrupsio/solusio plasenta, retensio uteri, janin mati yang lama di dalam rahim dan pada emboli cairan ketuban. Salah satu teori etiologik memperkirakan bahwa bahan tromboplastik yang timbul dari degenerasi dan otolisis desidua serta plasenta dapat memasuki sirkulasi maternal dan menimbulkan koagulasi intravaskuler serta penurunan fibrinogen yang beredar. Kegagalan tersebut yaitu kegagalan pada mekanisme pembekuan, menyebabkan perdarahan yang tidak dapat dihentikan dengan yang biasanya dipakai untuk mengendalikan perdarahan. Kelainan bekuan periportal adalah faktor yang beresiko tinggi pada perdarahan masa nifas tetapi umumnya sangat jarang terjadi. Pasien dengan masalah pembekuan dapat menimbulkan perdarahan postpartum, karena ketidakmam-puannya untuk membentuk bekuan darah yang stabil di tempat pelekatan plasenta (Manuaba, 2007).
2)    Sekunder
a)    Perdarahan post partum akibat sub involusi
Sub involusi adalah kegagalan uterus untuk mengikuti pola normal involusi. Dan keadaan ini  merupakan salah satu dari penyebab terumum perdarahan pasca partum. Fundus uteri letaknya tetap tinggi di dalam abdomen atau pelvis dari yang diperkirakan. Keluaran lokia sering kali gagal berubah dari bentuk rubra ke bentuk serosa, lalu ke bentuk lokia alba. Lokia yang tetap bertahan dalam bentuk rubra selama lebih dari 2 minggu pasca partumsangatlah perlu dicurigai terjadi kasus sub involusi. Jumlah lokia bisa lebih dari 2 minggu pasca partum sangatlah perlu dicurigai terjadi kasus sub involusi. Jumlah lokia bisa lebih banyak dari pada yang diperkirakan. Leukore, sakit punggung, dan lokia berbau menyengat, bisa terjadi jika ada infeksi. Ibu bisa juga memiliki riwayat perdarahan yang berlebihan setelah kelahiran (Wiknjosastro, 2005).
b)    Perdarahan post partum akibat iversio uteri
Inversio uteri adalah keadaan dimana fundus uteri terbalik sebagian atau terbalik seluruhnya masuk ke dalam kavum uteri uterus dikatakan mengalami inversio jika bagian dalam menjadi diluar saat melahirkan plasenta. Reposisi sebaiknya segera dilakukan dengan berjalannya waktu, lingkaran kontraksi sekitar uterus yang terinversi akan mengecil dan uterus akan mengecil dan uterus akan terisi darah (Wiknjosastro, 2005).
a)    Pembagian inversio uteri :
(1)   Inversio uteri ringan : fundus uteri terbalik menonjol ke dalam kavum uteri namun belum dari ruang rongga rahim
(2)   Inversio uteri sedang : terbalik dan sudah masuk ke dalam vagina
(3)   Inversio uteri berat : uterus dan vagina semuanya terbalik dan sebagian sudah keluar vagina (Manuaba, 2005).

b)    Penyebab inversio uteri menurut Manuaba (2007), adalah :
(1)   Spontan :  grande multipara, atoni uteri, kelemahan alat kandungan, tekanan intra abdominal yang tinggi (mengejan dan batuk).
(2)   Tindakan : cara Crade yang berlebihan, tarikan tali pusat, manual plasenta yang dipaksakan, perlekatan plasenta pada dinding rahim.
c)    Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya inversio uteri menurut Manuaba (2007), adalah  :
(1)   Uterus yang lembek, lemah, tipis dindingnya
(2)   Tarikan tali pusat yang berlebihan
d)    Pemeriksaan dalam :
(1)   Bila masih inkomplit maka pada derah simpisis uterus teraba fundus uteri cekung ke dalam
(2)   Bila komplit, di atas simpisis uterus teraba kosong dan dalam vagina teraba tumor lunak (Wiknjosastro, 2005)
c)    Perdarahan post partum akibat Hematoma
Hematoma terjadi karena kompresi yang kuat disepanjang traktus genitalia, dan tampak sebagai warna ungu pad amukosa vagina atau perineum yang akimotik. Hematom yang kecil diatas dengan es analgesik dan pemantauan yang terus menerus. Biasanya hematoma ini dapat diserap kembali secara alami (Wiknjosastro, 2005).
Perdarahan mungkin terjadi kearah jaringan ikat di bawah kulit yang menutupi genitalia eksterna atau di bawah mukosa vagina, membentuk hematoma vulva dan hematoma vagina. Keadaan tersebut biasanya terjadi setelah perlukaan pada pembuluh darah tanpa adanya laserasi jaringan permukaan, dan dapat terjadi pada kelahiran spontan maupun kelahihan operatif. Terkadang perdarahan tertunda, mungkin sebagai akibat terbukanya pembuluh darah yang semula mengalami nekrosis akibat penekanan yang lama. Jarang, bahwa pembuluh darah yang robek tersebut berada di atas fascia pelvis. Pada keadaan tersebut, hematoma terjadi diatasnya. Pada permulaannya, hematoma membentuk pembengkakan yang mengarah ke bagian atas saluran vagina dan menutupi hampir seluruh lumennya. Bila perdarahan terus terjadi, perdarahan tersebut menerobos ke arah jaringan retroperitoneal dan dengan demikian membentuk suatu tumor yang dapat diraba diatas ligamentum poupart, atau dapat menerobos ke atas, mencapai bagian bawah diafragama (Nikilah, 2008)
d)    Plasenta Restan
Adanya sisa plasenta yang sudah lepas tapi belum keluar ini akan menyebabkan perdarahan yang banyak. Sebabnya bisa karena atonia uteri, karena adanya lingkaran konstriksi pada bagian bawah rahim akibat kesalahan penanganan kala III, yang akan menghalangi plasenta keluar (Mochtar, 2005).
e)    Tertinggalnya sebagian plasenta
Biasanya, bagian yang tertinggal menggalami nekrosis dengan pembentukan fibrin , dan kemudian membentuk apa yang disebut polip plasenta. Pada waktu polip terlepas dari miometrium, dapat terjadi perdarahan banyak.


5.    Fisiologi perdarahan postpartum
Umumnya pada persalinan yang berlangsung normal, setelah janin lahir, uterus masih mengadakan kontraksi yang mengakibatkan penciutan cavum uteri, tempat implantasi plasenta. Akibatnya, plasenta akan lepas dari tempat implantasinya. Pelepasan ini dapat dimulai dari tengah atau pinggir plasenta atau serempak dari tengah dan dari pinggir plasenta. Cara yang pertama ditandai oleh makin panjang keluarnya tali pusat dari vagina  tanpa adanya perdarahan pervaginam. Sedangkan cara yang kedua ditandai dengan adanya perdarahan pervaginam apabila plasenta mulai terlepas. Umumnya perdarahan tidak melebihi 400 ml, bila lebih maka tergolong patologik (Sarwono, 2005). Oleh karena itu, pada pelepasan plasenta selalu diikuti oleh perdarahan karena sinus- sinus maternalis di tempat insersinya pada dinding uterus terbuka. Biasanya perdarahan itu tidak banyak, sebab kontraksi dan retraksi otot-otot uterus menekan pambuluh-pembuluh darah yang terbuka sehingga lumennya menutup, kemudian pembuluh darah tersumbat oleh bekuan darah (Sarwono, 2005). Apabila sebagian plasenta lepas sementara sebagian lagi belum terlepas, maka akan terjadi perdarahan karena uterus tidak bisa berkontraksi dangan baik pada batas antara dua bagian itu. Selanjutnya apabila sebagian plasenta sudah lahir, tetapi sebagian kecil masih melekat pada dinding uterus maka dapat timbul perdarahan pada masa nifas (Sarwono, 2005). Menurut waktu terjadinya dibagi atas dua bagian : 1) Perdarahan post partum primer (early post partum hemorrhage)  yang terjadi dalam 24 jam setelah bayi lahir. Terbanyak dalam 2 jam pertama. 2) Perdarahan post partum sekunder (late post partum hemorrhage) yang terjadi setelah 24 jam, biasanya antara hari ke-5 sampai 15 post partum (Llewellyn, 2001).

6.    Patofisiologi
Pada dasarnya perdarahan terjadi karena pembuluh darah didalam uterus masih terbuka. Pelepasan plasenta memutuskan pembuluh darah dalam stratum spongiosum sehingga sinus-sinus maternalis ditempat insersinya plasenta terbuka. Pada waktu uterus berkontraksi, pembuluh darah yang terbuka tersebut akan menutup, kemudian pembuluh darah tersumbat oleh bekuan darah sehingga perdarahan akan terhenti. Adanya gangguan retraksi dan kontraksi otot uterus, akan menghambat penutupan pembuluh darah dan menyebabkan perdarahan yang banyak. Keadaan demikian menjadi faktor utama penyebab perdarahan paska persalinan. Perlukaan yang luas akan menambah perdarahan seperti robekan servix, vagina dan perinium (Khaidir, 2008).
7.    Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis terjadinya perdarahan post partum menurut Vietha (2008), adalah :
a.    Perdarahan post partum primer
1)     Perubahan hemodinamik: hipotensi, takikardi
2)    Oligouria (urin < 300 cc/ 24 jam)
3)     Perdarahan > 500 cc/24 jam
4)    Distensi kandung kemih
b.   Perdarahan post partum sekunder
1)     Perdarahan kadang banyak kadang sedikit
2)    Perdarahan dengan bekuan sisa plasenta
3)     Terdapat tanda subinvolusi
4)    Lochea merah tua dan berbau jika terdapat infeksi
5)    Kenaikan suhu badan

8.    Diagnosa perdarahan post partum
Diagnosis biasanya tidak sulit, terutama apabila timbul perdarahan banyak dalam waktu pendek. Tetapi bila perdarahan sedikit dalam waktu lama, tanpa disadari penderita telah kehilangan banyak darah sebelum ia tampak pucat. Nadi serta pernapasan menjadi lebih cepat dan tekanan darah menurun. Diagnosis perdarahan dipermudah apabila pada tiap-tiap persalinan setelah anak lahir secara rutin diukur pengeluaran darah dalam kala III dan satu jam berikutnya (Mochtar, 2005).
Cara membuat diagnosis perdarahan post partum menurut Mochtar (2005), adalah  :
a.    Palpasi uterus : bagaimana kontraksi uterus dan tinggi fundus uterus.
b.   Memeriksa plasenta dan ketuban : apakah lengkap atau tidak.
c.   Melakukan eksplorasi kavum uteri untuk mencari :
1)     Sisa plasenta dan ketuban.
2)    Robekan rahim.
3)     Plasenta suksenturiata.
d.   Inspekulo : untuk melihat robekan pada serviks, vagina dan varises yang pecah.
e.    Pemeriksaan laboratorium : periksa darah, hemoglobin, clot observation test (COT), dan lain-lain.
9.    Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang dalam perdarahan post partum menurut Rochmat (2008), adalah :
a.   Golongan darah : menentukan Rh, ABO dan percocokan silang
b.   Jumlah darah lengkap : menunjukkan penurunan Hb/Ht dan peningkatan jumlah sel darah putuih (SDP). (Hb saat tidak hamil:12-16gr/dl, saat hamil: 10-14gr/dl. Ht saat tidak hamil : 37%-47%, saat hamil:32%-42%. Total SDP saat tidak hamil 4.500-10.000/mm3. saat hamil 5.000-15.000)
c.   Kultur uterus dan vagina : mengesampingkan infeksi pasca partum
d.   Urinalisis : memastikan kerusakan kandung kemih
e.   Profil koagulasi : peningkatan degradasi, kadar produk fibrin/produk split fibrin (FDP/FSP), penurunan kadar fibrinogen : masa tromboplastin partial diaktivasi, masa tromboplastin partial (APT/PTT), masa protrombin memanjang pada KID
f.   Sonografi : menentukan adanya jaringan plasenta yang tertahan
10.  Penatalaksanaan
Penatalaksanaan perdarahan post partum menurut Khaidir (2008), adalah :
a.    Penatalaksanaan umum
1)     Ketahui secara pasti kondisi ibu bersalin sejak awal
2)    Pimpin persalinan dengan mengacu pada persalinan bersih dan aman
3)     Selalu siapkan keperluan tindakan gawat darurat
4)    Segera lakukan penilaian klinik dan upaya pertolongan apabila dihadapkan dengan masalah dan komplikasi
5)    Atasi syok jika terjadi syok
6)    Pastikan kontraksi berlangsung baik ( keluarkan bekuan darah, lakukan pijatan uterus, beri uterotonika 10 IV dilanjutkan infus 20 ml dalam 500 cc NS/RL dengan tetesan 40 tetes/menit ).
7)    Pastikan plasenta telah lahir lengkap dan eksplorasi kemungkinan robekan jalan lahir
8)    Bila perdarahan tidak berlangsung, lakukan uji bekuan darah.
9)    Pasang kateter tetap dan pantau cairan keluar masuk

10) Lakukan observasi ketat pada 2 jam pertama paska persalinan dan lanjutkan pemantauan terjadwal hingga 4 jam berikutnya.
b.    Penatalaksanaan khusus
1)     Atonia uteri
a)    Kenali dan tegakan kerja atonia uteri.
b)    Sambil melakukan pemasangan infus dan pemberian uterotonika, lakukan pengurutan uterus.
c)    Pastikan plasenta lahir lengkap dan tidak ada laserasi jalan lahir.
d)    Lakukan tindakan spesifik yang diperlukan :
1)     Kompresi bimanual eksternal yaitu menekan uterus melalui dinding abdomen dengan jalan saling mendekatkan kedua belah telapak tangan yang melingkupi uteus. Bila perdarahan berkurang kompresi diteruskan, pertahankan hingga uterus dapat kembali berkontraksi atau dibawa ke fasilitas kesehatan rujukan
2)     Kompresi bimanual internal yaituv uterus ditekan diantara telapak tangan pada dinding abdomen dan tinju tangan dalam vagina untuk menjempit pembuluh darah didalam miometrium.
3)     Kompresi aorta abdominalis yaitu raba arteri femoralis dengan ujung jari tangan kiri, pertahankan posisi tersebut genggam tangan kanan kemudian tekankan pada daerah umbilikus, tegak lurus dengan sumbu badan, hingga mencapai kolumna vertebralis, penekanan yang tepat akan menghetikan atau mengurangi, denyut arteri femoralis.

2)    Retensio plasenta dengan separasi parsial
a)    Tentukan jenis retensio yang terjadi karena berkaitan dengan tindakan yang akan diambil.
b)    Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk mengejan, bila ekspulsi tidak terjadi cobakan traksi terkontrol tali pusat.
c)    Pasang infus oksitosin 20 unit/500 cc NS atau RL dengan tetesan 40/menit, bila perlu kombinasikan dengan misoprostol 400mg per rektal.
d)    Bila traksi terkontrol gagal melahirkan plasenta, lakukan manual plasenta secara hati-hati dan halus.
e)    Restorasi cairan untuk mengatasi hipovolemia.
f)     Lakukan transfusi darah bila diperlukan.
g)     Berikan antibiotik profilaksis (ampicilin 2 gr IV/oral + metronidazole 1 g supp/oral ).
3)     Plasenta inkaserata
a)    Tentukan diagnosis kerja
b)    Siapkan peralatan dan bahan untuk menghilangkan kontriksi serviks yang kuat, tetapi siapkan infus fluothane atau eter untuk menghilangkan kontriksi serviks yang kuat, tetapi siapkan infus oksitosin 20 Untuk500 NS atau RL untuk mengantisipasi gangguan kontraksi uterus yang mungkin timbul.
c)    Bila bahan anestesi tidak tersedia, lakukan manuver sekrup untuk melahirkan plasenta.
d)    Pasang spekulum Sims sehingga ostium dan sebagian plasenta tampak jelas.
e)    Jepit porsio dengan klem ovum pada jam 12, 4 dan 8 dan lepaskan spekulum
f)    Tarik ketiga klem ovum agar ostium, tali pusat dan plasenta tampak jelas.
g)    Tarik tali pusat ke lateral sehingga menampakkan plasenta disisi berlawanan agar dapat dijepit sebanyak mungkin, minta asisten untuk memegang klem tersebut.
h)    Lakukan hal yang sama pada plasenta kontra lateralv
i)      Satukan kedua klem tersebut, kemudian sambil diputar searah jarum jam tarik plasenta keluar perlahan-lahan.
4)    Ruptur uteri
a)    Berikan segera cairan isotonik (RL/NS) 500 cc dalam 15-20 menit dan siapkan laparatomi.
b)    Lakukan laparatomi untuk melahirkan anak dan plasenta, fasilitas pelayanan kesehatan dasar harus merujuk pasien ke rumah sakit rujukan
c)    Bila konservasi uterus masih diperlukan dan kondisi jaringan memungkinkan, lakukan operasi uterus.
d)    Bila luka mengalami nekrosis yang luas dan kondisi pasien mengkwatirkan lakukan histerektomi
e)    Lakukan bilasan peritonial dan pasang drain dari cavum abdomenv
f)    Antibiotik dan serum anti tetanus, bila ada tanda-tanda infeksi.v
5)    Sisa plasenta
a)    Penemuan secara dini, dengan memeriksa kelengkapan plasenta setelah dilahirkan.
b)    Berikan antibiotika karena kemungkinan ada endometriosisv
c)    Lakukan eksplorasi digital/bila serviks terbuka dan mengeluarkan bekuan darah atau jaringan, bila serviks hanya dapat dilalui oleh instrument, lakukan evakuasi sisa plasenta dengan dilatasi dan kuret.
d)    Hb 8 gr % berikan transfusi atau berikan sulfat ferosus 600 mg/hari selama 10 hari.
6)    Ruptur peritonium dan robekan dinding vagina
a)    Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi lokasi laserasi dan sumber perdarahan.
b)    Lakukan irigasi pada tempat luka dan bubuhi larutan antiseptik.
c)    Jepit dengan ujung klem sumber perdarahan kemudian ikat dengan benang yang dapat diserap.
d)    Lakukan penjahitan luka dari bagian yang paling distalv
e)    Khusus pada ruptur perineum komplit dilakukan penjahitan lapis demi lapis dengan bantuan busi pada rektum, sebagai berikut :v
f)    Setelah prosedur aseptik- antiseptik, pasang busi rektum hingga ujung robekan.
g)    Mulai penjahitan dari ujung robekan dengan jahitan dan simpul sub mukosa, menggunakan benang polyglikolik no 2/0 (deton/vierge) hingga ke sfinter ani, jepit kedua sfinter ani dengan klem dan jahit dengan benang no 2/0.
h)    Lanjutkan penjahitan ke lapisan otot perineum dan sub mukosa dengan benang yang sama (atau kromik 2/0 ) secara jelujur.
i)      Mukosa vagina dan kulit perineum dijahit secara sub mukosa dan sub kutikuler.
j)     Berikan antibiotik profilaksis. Jika luka kotor berikan antibiotika untuk terapi.
7)    Robekan serviks
a)    Sering terjadi pada sisi lateral, karena serviks yang terjulur akan mengalami robekan pada posisi spina ishiadika tertekan oleh kepala bayi.
b)    Bila kontraksi uterus baik, plasenta lahir lengkap, tetapi terjadi perdarahan banyak maka segera lihat bagian lateral bawah kiri dan kanan porsio
c)    Jepitan klem ovum pada kedua sisi porsio yang robekv sehingga perdarahan dapat segera di hentikan, jika setelah eksploitasi lanjutkan tidak dijumpai robekan lain, lakukan penjahitan, jahitan dimulai dari ujung atas robekan kemudian kearah luar sehingga semua robekan dapat dijahit.
d)    Setelah tindakan periksa tanda vital, kontraksi uterus, tinggi fundus uteri dan perdarahan paska tindakan.
e)    Berikan antibiotika profilaksis, kecuali bila jelas ditemui tanda-tanda infeksi.
f)    Bila terjadi defisit cairan lakukan restorasi dan bila kadar Hb dibawah 8 gr% berikan transfusi darah.
11.  Faktor-faktor yang mempengaruhi perdarahan post partum
a.    Faktor usia
Usia dan fisik wanita sangat berpengaruh terhadap proses kehamilan pertama, pada kesehatan janin dan proses persalinan. World Health Organisation WHO) memberikan rekomendasisebagaimana disampaikan Seno (2008) seorang ahli kebidanan dan kandungan dari RSUPN Cipto Mangunkusumo,  Sampai sekarang, rekomendasi WHO untuk usia yang dianggap paling aman menjalani kehamilan dan persalinan adalah  20 hingga 30 tahun. Kehamilan di usia kurang dari 20 tahun dapat menimbulkan masalah karena kondisi fisik belum 100% siap. 
Beberapa resiko yang bisa terjadi pada kehamilan di usia kurang dari 20 tahun adalah kecenderungan naiknya tekanan darah dan pertumbuhan janin terhambat. Bisa  jadi secara mental pun wanita belum siap. Ini menyebabkan kesadaran untuk memeriksakan diri dan kandungannya menjadi  rendah. Di luar urusan kehamilan dan persalinan, risiko kanker leher rahim pun meningkatakibat hubungan seks dan melahirkan sebelum usia 20 tahun ini. Berbeda dengan wanita usia 20-30 tahun yang dianggap ideal untuk menjalani kehamilan dan persalinan.
Di rentang usia ini kondisi fisik wanita dalam keadaan prima. Rahim sudah mampu memberi perlindungan atau kondisi yang maksimal untuk kehamilan. Umumnya secara mental pun siap, yang berdampak pada perilaku merawat dan menjaga kehamilannya secara hati-hati.
Pendapat  Seno  (2008),  usia 30-35 tahun sebenarnya merupakan masa transisi “Kehamilan pada usia ini masih bisa diterima asal kondisi tubuh dan kesehatan wanita yang bersangkutan termasuk gizinya, dalam keadaan baik”. Mau tidak mau, suka atau tidak suka, proses kehamilan dan persalinan berkaitan dengan kondisi dan fungsi organ-organ wanita. Artinya, sejalan dengan bertambahnya usia, tidak sedikit fungsi organ yang menurun. Semakin bertambah usia, semakin sulithamil karena sel telur yang siap dibuahi semakin sedikit. Selain itu, kualitas sel telur juga semakin menurun. Itu sebabnya, pada kehamilan pertama di usia lanjut, resiko perkembangan janin tidak normal dan timbulnya penyakit kelainan bawaan juga tinggi, begitu juga kondisi-kondisi lain yang mungkin mengganggu proses kehamilan dan persalinan seperti kelahiran preterm, ketuban pecah dini maupun perdarahan.
Lebih lanjut Seno (2008) menjelaskan, meningkatnya usia  juga membuat kondisi dan fungsi rahim menurun. Salah satu akibatnya adalah jaringan rahim yang tak lagi subur. Padahal, dinding rahim tempat menempelnya plasenta. Kondisi ini memunculkan kecenderungan terjadinya plasenta previa atau plasenta tidak menempel di tempat semestinya. Selain itu, jaringan rongga panggul dan otot-ototnya pun melemah sejalan pertambahan usia. Hal ini membuat rongga panggul tidak mudah lagi menghadapi dan mengatasi komplikasi yang berat, seperti perdarahan. Pada keadaan tertentu, kondisi hormonalnya tidak seoptimal usia sebelumnya. Itu sebabnya, resiko keguguran, ketuban pecah, kematian janin, perdarahan dan komplikasi lainnya juga meningkat.
Perdarahan pascapersalinan dan usia ibu Wanita yang melahirkan anak pada usia dibawah 20 tahun atau lebih dari 35 tahun merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan pascapersalinan yang dapat mengakibatkan kematian maternal. Hal ini dikarenakan pada usia dibawah 20 tahun fungsi reproduksi seorang wanita belum berkembang dengan sempurna, sedangkan pada usia diatas 35 tahun fungsi reproduksi seorang wanita sudah mengalami penurunan dibandingkan fungsi reproduksi normal sehingga kemungkinan untuk terjadinya komplikasi pascapersalinan terutama perdarahan akan lebih besar. Perdarahan post partum yang mengakibatkan kematian maternal pada wanita hamil yang melahirkan pada usia dibawah 20 tahun 2-5 kali lebih tinggi daripada perdarahan post partum yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Perdarahan post partum meningkat kembali setelah usia 30-35 tahun.
b.   Paritas
Paritas adalah banyaknya kelahiran hidup yang dipunyai oleh seorang wanita (BKKBN, 2006). Menurut Prawirohardjo (2009), paritas dapat dibedakan menjadi primipara, multipara dan grandemultipara.
Paritas adalah jumlah kehamilan yang menghasilkan janin yang mampu hidup diluar rahim (28 minggu) (JHPIEGO, 2008). Sedangkan menurut Manuaba (2008), paritas adalah wanita yang pernah melahirkan bayi aterm.
Klasifikasi Paritas
1)     Primipara
Primipara adalah wanita yang telah melahirkan seorang anak, yang cukup besar untuk hidup di dunia luar (Varney, 2006).
2)     Multipara
Multipara adalah wanita yang telah melahirkan seorang anak lebih dari satu kali (Prawirohardjo, 2009).
3)     Grandemultipara
Grandemultipara adalah wanita yang telah melahirkan 5 orang anak atau lebih dan biasanya mengalami penyulit dalam kehamilan dan persalinan (Manuaba, 2008).
Paritas 2-3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut perdarahan post partum yang dapat mengakibatkan kematian maternal. Paritas satu dan paritas tinggi (lebih dari tiga) mempunyai angka kejadian perdarahan pascapersalinan lebih tinggi. Pada paritas yang rendah (paritas satu), ketidaksiapan ibu dalam menghadapi persalinan yang pertama merupakan faktor penyebab ketidakmampuan ibu hamil dalam menangani komplikasi yang terjadi selama kehamilan, persalinan dan nifas.
Ibu-ibu yang dengan kehamilan lebih dari 1 kali atau yang termasuk multigravida mempunyai risiko lebih tinggi terhadap terjadinya perdarahan pascapersalinan dibandingkan dengan ibu-ibu yang termasuk golongan primigravida (hamil pertama kali). Hal ini dikarenakan pada multigravida, fungsi reproduksi mengalami penurunan sehingga kemungkinan terjadinya perdarahan post partum menjadi lebih besar.
c.   Antenatal Care
Tujuan umum antenatal care adalah menyiapkan seoptimal mungkin fisik dan mental ibu serta anak selama dalam kehamilan, persalinan dan nifas sehingga angka morbiditas dan mortalitas ibu serta anak dapat diturunkan. Pemeriksaan antenatal yang baik dan tersedianya fasilitas rujukan bagi kasus risiko tinggi terutama perdarahan yang selalu mungkin terjadi setelah persalinan yang mengakibatkan kematian maternal dapat diturunkan. Hal ini disebabkan karena dengan adanya antenatal care tanda-tanda dini perdarahan yang berlebihan dapat dideteksi dan ditanggulangi dengan cepat (Wiknjosastro, 2005).
d.   Anemia kehamilan
Anemia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan penurunan nilai hemoglobin dibawah nilai normal. Dikatakan anemia jika kadar hemoglobin kurang dari 11 gr%. Perdarahan pascapersalinan mengakibatkan hilangnya darah sebanyak 500 ml atau lebih, dan jika hal ini terus dibiarkan tanpa adanya penanganan yang tepat dan akurat akan mengakibatkan turunnya kadar hemoglobin dibawah nilai normal.
Pada anemia jumlah efektif sel darah merah berkurang. Hal ini mempengaruhi jumlah haemoglobin dalam darah. Berkurangnya jumlah haemoglobin menyebabkan jumlah oksigen yang diikat dalam darah juga sedikit, sehingga mengurangi jumlah pengiriman oksigen ke organ-organ vital (Anderson, 2007).
Anemia dalam kehamilan dapat berpengaruh buruk terutama saat kehamilan, persalinan dan nifas. Prevalensi anemia yang tinggiberakibat negatif seperti: 1) Gangguan dan hambatan pada pertumbuhan,baik sel tubuh maupun sel otak, 2) Kekurangan Hb dalam darah mengakibatkan kurangnya oksigen yang dibawa/ditransfer ke sel tubuh maupun ke otak. Sehingga dapat memberikan efek buruk pada ibu itu sendiri maupun pada bayi yang dilahirkan (Manuaba, 2007).
Setiap kehamilan akan menguras persediaan Fe tubuh, apabila cadangan Fe minimal akhirnya menimbulkan anemia pada kehamilan berikutnya. Kehamilan relatif terjadi anemia karena darah ibu hamil mengalami hemodilusi (pengenceran) dengan peningkatan volume 30% sampai 40% yang puncaknya pada kehamilan 32 sampai 34 minggu. Jumlah peningkatan sel darah 18% sampai 30%, dan hemoglobin sekitar 19%. Hemoglobin ibu sebelum hamil sekitar 11 gr% maka dengan terjadinya hemodilusi akan mengakibatkan anemia hamil fisiologis dan Hb ibu akan menjadi 9,5 sampai 10 gr% (Manuaba, 2010).
Pada saat hamil, bila terjadi anemia dan tidak tertangani hingga akhir kehamilan maka akan berpengaruh pada saat postpartum. Pada ibu dengan anemia, saat postpartum akan mengalami atonia uteri. Hal ini disebabkan karena oksigen yang dikirim ke uterus kurang. Jumlah oksigen dalam darah yang kurang menyebabkan otot-otot uterus tidak berkontraksi dengan adekuat sehingga timbul atonia uteri yang mengakibatkan perdarahan banyak (Manuaba, 2007).
12.  Komplikasi perdarahan post partum
Disamping menyebabkan kematian, perdarahan pascapersalinan memperbesar kemungkinan infeksi puerperal karena daya tahan penderita berkurang. Perdarahan banyak kelak bisa menyebabkan sindrom Sheehan sebagai akibat nekrosis pada hipofisisis pars anterior sehingga terjadi insufisiensi pada bagian tersebut. Gejalanya adalah hipotensi, anemia, dan turunnya berat badan. Penurunan fungsi seksual dengan atrofi alat alat genital, kehilangan rambut pubis dan ketiak, penurunan metabolisme dengan hipotensi, amenore dan kehilangan fungsi laktasi (Rochmat, 2008).


No comments:

Post a Comment